Pages

Thursday, December 04, 2008

Wajib memakai dan mengikuti tolok ukur kehidupan

Para penyebar agama sering mengatakan bahwa hidup manusia wajib memakai dan mengikuti tolok ukur kehidupan yang sesuai dengan ukuran penilaian Tuhan.

Misalnya, ketika ada peluang melakukan korupsi, meski hal itu bisa membuat seseorang tadi menjadi kaya-raya --dan hal itu kondusif untuk memenuhi tolok ukur manusia mengenai kesejahteraan dan sukses hidup-- namun jalan yang ditempuh tadi jelas bertentangan dengan pandangan Allah.

Oleh karena itu, kita dianjurkan mendingan miskin tanpa melakukan korupsi daripada 'harus' kaya tapi tidak sesuai dengan pandangan Allah. Meski sedikit rezeki yang kita peroleh, tetapi jika ditempuh dengan jalan yang benar, insya Allah akan menjadi rezeki yang barokah.

Terkadang, karena kondisi zaman kita sekarang 'cari uang haram saja susah, apalagi uang halal', maka sejumlah kalangan manusia mencari perlindungan psikologis dan metoda survivalisme dengan cara 'membanggakan kemiskinan', bahkan mengideologikan kemiskinan. Seolah-olah hidup itu harus miskin. Miskin identik dengan kebaikan, sedangkan kekayaan dianggap identik dengan keburukan atau kecurangan.

Ketika kemudian sufisme atau tasawuf dipelajari, asosiasi baku mengenai sufi adalah seseorang dengan simbol-simbol kemiskinan. Kalau Anda memiliki dan memakai sesuatu yang melambangkan kekayaan dunia, orang menyimpulkan Anda pecinta dunia dan jauh dari Allah.

Tentu saja ini tidak rasional. Kalau Anda berpendapat demikian, maka Anda bisa dituduh melarang orang untuk menikmati anugerah kekayaan Tuhan. Itu berarti antisyukur. Pada pandangan Allah, yang menjadi masalah bukan Anda ini kaya atau miskin, bukan berapa jumlah uangmu. Yang dipersoalkan ada dua: pertama, apakah engkau memperolehnya dengan halal. Halal itu sehat secara sosial; kedua, apa yang engkau lakukan dengan kekayaan atau kemiskinanmu. Tuhan mencemburuimu kalau engkau menuhankan kekayaan. Ia juga jengkel dan 'pusing' kalau menyaksikan engkau menyembah kemiskinan. Islam tidak antimateri. Poinnya tidak terletak pada benda, melainkan pada ilmu dan sikap manusia dalam memperlakukan benda.

Engkau tidak wajib miskin, meskipun berhak memilih miskin, sepanjang kemiskinanmu itu merupakan fasilitas yang memang tepat bagimu untuk mengkondisikan kedekatan dengan Allah. Engkau juga tidak dilarang kaya, sepanjang kekayaanmu membuatmu setia dan cinta kepada-Nya. Tuhan memposisikan dirinya pada manusia yang lemah, miskin, dan serba berkekurangan. Maka, cinta dan kesetiaan pada Tuhan adalah kasih sayang kepada orang-orang lemah. Sedemikian rupa, sehingga di senja hidupmu kelak, kekayaan termewah yang engkau miliki bukanlah tumpukan benda-benda, melainkan track record kadar dan bukti kasih sayangmu kepada kaum papa --yang membuatmu tidak memiliki materi apa pun lagi di akhir hayatmu. 'Menjadi bayi telanjang' kembali pada detik-detik menjelang maut, itulah sukses hidup yang sempurna.

(Emha Ainun Najib/Republika/2006/PadhangmBulanNetDok)

No comments: