Pages

Tuesday, November 13, 2012

KEDAMAIAN YANG KITA DAMBA

Semua orang mendambakan kedamaian hati, tak terkecuali kita. Ada orang mengira bahwa kedamaian tercapai saat dirinya terlupa dari kesedihan. Padahal, belum tentu ia temukan kedamaian di tengah-tengah kegembiraan. Seringkali, ketika kegembiraan berlalu, kesedihan kembali merundung dirinya. Kedamaian hati tidak terletak di antara perasaan suka dan duka. Kedamaian bukanlah untuk dirasa-rasakan. Justru, kedamaian ditemukan saat kita mampu menguraikan semua perasaan yang berlalu lalang dalam diri kita, untuk kemudian terlepas dari kemelekatan padanya. Menemukan kedamaian itu bagai berjalan menembus kabut tebal. Di saat kita tak tergoyahkan dan terus melaju, kabut itu tersibak, terurai dan memudar. Kemudian, di depan sana kita dapati berpendar-pendar terang. Kita pun melihat kenyataan lebih jelas lagi.

Wednesday, October 31, 2012

KEJAHATAN KECIL PUN BUTUH UPAYA BESAR

Pernahkah anda merencanakan sebuah keburukan?
Atau kejahatan?
Tentu saja kita tidak sedang berbicara bagaimana membuat rencana buruk anda itu berhasil.
Namun, mengajak untuk melihat apa yang terjadi dalam diri kita sewaktu berencana jahat. Bisa jadi kita akan memeras pikiran keras-keras mencari cara agar rencana itu terwujud. Atau, bisa jadi kita menyusun jalan lain bila rencana itu gagal. Atau, bisa jadi kita memutar otak untuk mencari alasan penyelamat, jika orang lain memergoki. Atau, bisa jadi kita mempersiapkan mental sebaik-baiknya agar cukup tegar hati melakukan sesuatu yang kita sendiri tak ingin tertimpanya.

Mari perhatikan diri kita secara lembut dan hati-hati.
Bahkan untuk sebuah kejahatan kecil pun kita harus mengerahkan usaha besar agar berhasil. Tidak ada kejahatan kecil yang terjadi begitu saja tanpa pertimbangan dari empunya.
Lantas untuk apa kita perlu memahami gejolak batin di saat kejahatan terencana dalam benak?
Tak lain tak bukan, adalah untuk mengurainya, dan mengubah energi agar senantiasa berbagi kebaikan.

Wednesday, September 26, 2012

CORETAN KANVAS PERJALANAN KITA

Seorang penyair berlayar. Ia mendarat membawa berlembar-lembar puisi yang bercerita tentang perjalanannya. Seorang pelukis mendaki gunung. Ia turun membawa bergulung-gulung kanvas bercoretkan pemandangannya. Seorang penyanyi berkeliling negeri. Ia pulang membawa senandung nada bernyanyikan pemahamannya. Memang demikian adanya. Seseorang pergi, lalu kembali dengan cerita tentang perjalanan, pengalaman, dan tentu saja pemahamannya. Bila bukan untuk mengalami, untuk apa seseorang melakukan perjalanan. Bila bukan untuk memahami, untuk apa seseorang menyerap pengalaman. Lagu pemahaman selalu berkomposisikan keburukan dan keindahan. Lukisan pengalaman selalu berwarna terang dan gelap. Sedangkan puisi perjalanan selalu berbaitkan kesenangan dan kesedihan. Bukankah itu pula yang kelak dibawa, sekembalinya kita dari perjalanan di muka bumi ini?

Sunday, September 23, 2012

MENGAPA KITA BUKAN PEMAIN BINTANG

Mungkin adalah sebuah keberuntungan, bahwa kebanyakan dari kita bukanlah pemain sepak bola terbaik dunia. Beruntung, karena kita tidak harus bekerja di bawah tatapan tajam para penonton yang menuntut untuk selalu menang. Beruntung, karena kita tidak perlu selalu tertekan sebab tak boleh melakukan kesalahan sekecil apa pun yang bisa berbuntut pada kekalahan. Beruntung, karena kita masih bisa berkilah atas setiap kegagalan yang terjadi. Tetapi, tunggu dulu. Mungkin tak semestinya kita buru-buru merasa beruntung. Mungkin itu sebabnya mengapa kita bukan seorang pemain bintang. Mungkin, kita terlalu takut untuk menghadapi kemenangan besar. Mungkin, kita terlalu lemah untuk menerima beban dan tekanan. Atau, mungkin kita terlalu pandai mencari alasan dan pembenaran diri sendiri. Pendek kata, kita sungguh-sungguh tak memiliki kualitas yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemain bintang. Maka, mengapa kita harus merasa beruntung karena tidak menjadi yang terbaik?

Wednesday, August 29, 2012

YANG TERSEMBUNYI DI BALIK PERUBAHAN

Prinsip terpenting dalam memahami kehidupan ini sebenarnya sederhana saja. Begitu sederhana, begitu teruji, dan begitu terbuka. Di ruang mana pun, dan di waktu kapan pun, siapa pun bisa menguji kebenarannya. Karena itu, ia mampu menopang seluruh kerumitan realitas yang kita pandangi. Prinsip itu adalah: tiada yang abadi di dunia ini; segala sesuatu pasti berubah. Matahari terbit dan terbenam. Bintang bercahaya lalu kelam. Siang bersilih gantikan malam. Lalu, mengapa kita harus mencemaskan semua yang ada? Harapan dan kecemasan biasanya muncul dari keinginan kita untuk mempertahankan yang ada, atau menolak yang terjadi. Padahal, tak pernah kita menangis sepanjang waktu. Tangis pun reda terhiburkan tawa. Kita pun tak pernah tertawa setiap saat. Tawa akan dipudarkan duka cita. Kita tak selalu tahu darimana dan kemana perginya semua perasaan itu. Maka, bukanlah kita harus hanyut dalam semua perubahan. Namun cukuplah mulai memahami, bahwa ada sesuatu bersembunyi di balik semua itu. Sesuatu itu, tanpa sadar kita cari-cari selama ini. Sesuatu itu adalah secercah ketenangan hati.

KERJAKAN PEKERJAAN RUMAH ANDA SETIAP MALAM

Anda mungkin bisa menuntaskan apa yang semestinya anda kerjakan setiap hari dengan berkerja keras di akhir pekan. Namun, bukan itu makna tujuh hari dalam seminggu. Agar seseorang sembuh dari penyakitnya, ia harus minum obat setiap hari; bukan meminum seluruh dosis di akhir pekan. Agar seorang siswa meraih kenaikan kelas, ia harus mengerjakan pelajarannya setiap malam; bukan membaca bertumpuk buku sehari menjelang ujian. Ini adalah prinsip sederhana produktivitas. Produktivitas bukan sekedar menghasilkan apa yang bisa kita hasilkan sekarang atau esok. Namun, menjaga agar manfaat dari hasil itu bisa diperoleh sebaik-baiknya hingga di masa-masa mendatang. Mungkin anda bisa menghafal semua pelajaran anda dalam waktu semalam, namun jangan menyesal jika itu hanya bertahan semalam pula. Karena itu, produktivitas selalu berkenaan dengan waktu. Sedangkan waktu adalah ketekunan, kesabaran, dan ketahanan diri.

Wednesday, May 16, 2012

EMAS DAN PERMATA

Beberapa waktu yang lalu, di Mesir hidup seorang sufi tersohor bernama Zun-Nun. Seorang pemuda mendatanginya dan bertanya, "Guru, saya tak mengerti mengapa orang seperti anda mesti berpakaian apa adanya, amat sangat sederhana. Bukankah di masa seperti ini berpakaian sebaik-baiknya amat perlu, bukan hanya untuk penampilan namun juga untuk banyak tujuan lain." Sang sufi hanya tersenyum; ia lalu melepaskan cincin dari salah satu jarinya, lalu berkata, "Sobat muda, akan kujawab pertanyaanmu, tetapi lebih dahulu lakukan satu hal untukku. Ambillah cincin ini dan bawalah ke pasar di seberang sana. Bisakah kamu menjualnya seharga satu keping emas?" Melihat cincin Zun-Nun yang kotor, pemuda tadi merasa ragu, "Satu keping emas? Saya tidak yakin cincin ini bisa dijual seharga itu." "Cobalah dulu, sobat muda. Siapa tahu kamu berhasil." Pemuda itu pun bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada pedagang kain, pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada yang lainnya. Ternyata, tak seorang pun berani membeli seharga satu keping emas. Mereka menawarnya hanya satu keping perak. Tentu saja, pemuda itu tak berani menjualnya dengan harga satu keping perak. Ia kembali ke padepokan Zun-Nun dan melapor, "Guru, tak seorang pun berani menawar lebih dari satu keping perak." Zun-Nun, sambil tetap tersenyum arif, berkata, "Sekarang pergilah kamu ke toko emas di belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik toko atau tukang emas di sana. Jangan buka harga. dengarkan saja, bagaimana ia memberikan penilaian." Pemuda itu pun pergi ke toko emas yang dimaksud. Ia kembali kepada Zun-Nun dengan raut wajah yang lain. Ia kemudian melapor, "Guru, ternyata para pedagang di pasar tidak tahu nilai sesungguhnya dari cincin ini. Pedagang emas menawarnya dengan harga seribu keping emas. Rupanya nilai cincin ini seribu kali lebih tinggi daripada yang ditawar oleh para pedagang di pasar." Zun-Nun tersenyum simpul sambil berujar lirih, "Itulah jawaban atas pertanyaanmu tadi sobat muda. Seseorang tak bisa dinilai dari pakaiannya. Hanya "para pedagang sayur, ikan dan daging di pasar" yang menilai demikian. Namun tidak bagi "pedagang emas". Emas dan permata yang ada dalam diri seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai jika kita mampu melihat ke kedalaman jiwa. Diperlukan kearifan untuk menjenguknya. Dan itu butuh proses wahai sobat mudaku. Kita tak bisa menilainya hanya dengan tutur kata dan sikap yang kita dengar dan lihat sekilas. Seringkali yang disangka emas ternyata loyang dan yang kita lihat sebagai loyang ternyata emas."

Monday, May 14, 2012

KEJUJURAN SAJA TAK CUKUP

Apakah sebuah kejujuran saja sudah cukup? Bukankah sudah jamak diwasiatkan bahwa kejujuran adalah mata uang yang diterima di transaksi mana pun. Sudah awam pula dinasehati bahwa kejujuran adalah pakaian yang selalu pantas dikenakan. Namun, mengapa banyak kita temukan, mata uang itu tak selamanya dijabattangankan. Mengapa pula, banyak kita lihat pakaian itu seolah tampak usang dan lusuh. Maka apakah sesungguhnya kejujuran itu? Orang mungkin saja menganggap kita berlaku jujur, hanya karena kita mengatakan apa yang kita lakukan. Sebagaimana di depan sebuah pengadilan, tak perlu menjawab sesuatu yang tak ditanyakan. Namun kejujuran tidak berbatas pertanyaan. Kita juga semestinya melakukan pada yang kita katakan. Karena, kejujuran selalu beriringan dengan integeritas. Anda tak dapat mengorbankan salah satunya untuk mencapai yang lain. Kejujuran adalah garis lurus. Sedangkan integritas adalah keutuhan.

Sunday, January 08, 2012

SEBUAH BIDANG BERNAMA HATI NURANI

Seorang pujangga bijak pernah bertanya, bagaimana seorang pincang bisa menari? Dijawabnya sendiri, menarilah dengan hati. Ia lalu bertanya lagi, bagaimana seorang bisu bisa bernyanyi? Lagi-lagi ia jawab sendiri, bernyanyilah dengan hati. Biarkan angin menerbangkan hatimu ke angkasa; mengundang Sang Raja turun dari kursi tahtanya, dan menari bersama-sama dalam cahaya.

Pujangga lain berujar, hati nurani adalah sebuah republik; sebuah republik yang sederhana. Dimana tak ada tapal batas satu sama lain. Sehingga kita bisa bebas berjalan-jalan di banyak negara sekaligus. Hati nurani adalah sebuah republik; sebuah republik yang bersahaja. Dimana tak ada penterjemah, tak ada taksi, tak ada porter. Kita harus mengangkat beban kita sendiri. Tak ada keistimewaan kita di banding yang lain. Dalam republik hati nurani, kita berbahasakan cinta dan kasih sayang.