Pages

Tuesday, November 30, 2004

Menertawakan diri sendiri

Kalau kita mau jujur, sebenarnya banyak hal dari diri kita yang patut kita tertawakan sendiri. Sebagai misal: ketika kendaraan kesayangan kita tergores dan catnya mengelupas, kita jadi sedih dan kecewa. Semakin dalam kecintaan kita pada kendaraan itu, semakin dalam kesedihan dan kekecewaan kita. Ini juga terjadi ketika benda-benda kesayangan kita yang lain, seperti barang pecah belah, perhiasan atau barang koleksi yang selama ini kita rawat baik-baik, ternyata pecah, kusam atau rusak begitu saja. Kita dapati diri ini jatuh dalam kenelangsaan. Padahal benda-benda itu sama sekali tak merasakan apa-apa, justru kita yang harus bersakit-sakit. Bukankah ini menarik untuk kita tertawakan sendiri?

Semua ini terjadi karena kita meletakkan "diri" kita; kita mengidentifikasikan "aku" kita pada benda-benda kesayangan itu. Tanpa sadar kita menganggap benda-benda itu sebagai diri kita sendiri. Semakin banyak kita mencintai benda-benda, semakin terjerat kita pada benda-benda itu,semakin besar kemungkinan kita mengalami luka dan kepedihan. Seandainya kita mau mengurai sedikit demi sedikit keterikatan kita pada semua benda-benda kesayangan, semakin mudah untuk membebaskan diri kita sendiri. Bukankah yang kita idam-idamkan selama ini adalah sebuah jiwa yang merdeka?

Mari menjadi mata air kasih sayang

Tindakan hanyalah tindakan. Nilai yang anda berikan dalam tindakan itulah yang membuatnya berbeda. Tindakan baik yang anda lakukan pada seseorang akan tampak begitu indah, jika anda berkenan membubuhinya dengan percikan cinta kasih.

Pernahkah anda melihat seorang pria bercambang lebat, berwajah garang, dengan tubuh kekar penuh rajah legam? Siapa pun mungkin segera gentar berhadapan dengannya. Atau, justru menyingkir jauh-jauh. Tapi, tidak demikian halnya dengan seorang gadis mungil yang memanggilnya ayah. Ketika ia melihat "sang ayah" datang dari pengasingannya, tanpa menghiraukan semua pemandangan seram yang ada di depannya, ia rengkuh "sang ayah" lekat-lekat.

Ia merasa begitu nyaman dalam pelukannya. Hanya karena satu sebab, gadis itu tahu betapa kasih pada "sang ayah" mendamaikan jiwanya. Siapa pun berhak menjadi mata air bagi mengalirnya kasih sayang. Demikian juga kita.