A--Bagaimana Kita Memenuhi Kebutuhan?
Hidup dipenuhi dengan kebutuhan, meskipun tujuan hidup bukanlah untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan itu. Kita butuh pangan untuk kelangsungan hidup.
Kita butuh sandang demi kehormatan hidup. Kita butuh papan demi kesejahteraan hidup.
Kita butuh pendidikan demi pemenuhan kebutuhan kehidupan yang bermoral dan berbudaya. Kita perlu memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut agar kita bisa menjalani kehidupan ini secarawajar. Ada berbagai macam cara manusia bisa memenuhi berbagai macam kebutuhan. Namun pada prinsipnya ada dua cara kita bisa memenuhi kebutuhan.
Pertama,dengan cara meminta. Baik mulai dari cara mendapatkan sedekah, warisan, meminta-minta hingga mengemis. Cara ini tidak sepenuhnya bisa diterima oleh masyarakat karena dianggap menyalahi prinsip etika dan peri keadilan. Seseorang hanya boleh meminta-minta bila benar-benar dalam keadaan memaksa. Cara yang terhormat dalam memenuhi kebutuhan adalah dengan BEKERJA.
Dengan bekerja seseorang melakukan suatu karya dan memperoleh imbalan, baik dalam bentuk pendapatan, uang atau pemenuhan kebutuhannya. Seorang buruh mendapatkan upah bila ia bekerja pada majikannya. Seorang nelayan mendapatkan penghasilan bila ia melaut dan menjual hasil tangkapannya. Seorang pedagang mendapatkan uang dengan berjualan. Tentu saja masih ada cara lain dalam memenuhi kebutuhan hidup. Misal, dengan merampok, mencuri, memaksa dan lain sebagainya. Namun hal ini bukanlah carayang bermoral. Karena, dalam hidup ini, cara terhormat agar kita bisa memenuhi kebutuhan kita adalah dengan memenuhi kebutuhan orang lain. Dengan demikian kedudukan kita di antara sesama manusia adalah adil, setara dan sederajat.
B--Mencari Lapangan Kerja
Jelas, kita harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup kita.
Pertanyaan selanjutnya adalah siapakah yang bertanggung jawab menyediakan lapangan kerja bagi kita? Pemerintah bertanggung jawab pada rakyat untuk menyediakan lapangan kerja. Tugas pemerintah adalah meningkatkan kesejahteraan hidup rakyatnya. Pemerintah mendirikan berbagai bentuk badan usaha milik negara yang bisa menyediakan lapangan kerja bagi rakyat.
Namun, kemampuan untuk menyediakan lapangan kerja tidaklah tidak terbatas. Tugas pemerintah terutama adalah menciptakan situasi negara yang baik dan sehat yang memungkinkan rakyatnya memperoleh pekerjaan sesuai dengan kemampuan dan kemauannya. Misal, dengan memberikan keamanan dan keselamatan, mengadakan sarana dan prasarana, menyelenggarakan pendidikan dan lain sebagainya. Masyarakat pun ikut bertanggung jawab dalam menyediakan lapangan kerja, atau setidaknya menciptakan keadaan sosial yang kondusif. Misal, dengan menumbuhkan budaya kerja yang sehat, meninggalkan praktek-praktek perdagangan yang mencekik, menyelenggarakan pendidikan, dan lain sebagainya. Tetapi di atas semua itu, yang paling bertanggung jawab untuk menyediakan lapangan kerja bagi kita adalah DIRI KITA sendiri.
Ini berarti setiap darikita mempunyai kewajiban untuk berusaha dan berikhtiar untuk menemukan lahan yang akan digarapnya dan dijadikan sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan. Setiap orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Ini adalah prinsip hidup yang menunjukkan kematangan dan kemuliaan seorang manusia.
C--Bagaimana Kita Bekerja?
Kebanyakan dari kita memenuhi kebutuhan adalah dengan bekerja pada orang lain, yang biasa disebut dengan majikan. Secara suka rela kita melakukan apayang diminta oleh majikan dan mengharap imbalan dalam bentuk upah atau gaji. Dengan posisi seperti ini, kita biasa disebut sebagai buruh, pegawai atau karyawan. Di hadapan majikan, seorang pegawai atau buruh seringkali di sebut sebagai bawahan. Dalam hubungan kemanusiaan, hubungan antara majikan dan karyawannya adalah setara dan sederajat. Namun banyak orang yang seolah-olah lupa akan hal ini. Seorang bawahan seringkali meletakkan derajat dirinya sedemikian rendah sehingga begitu takut kalau ia akan kehilangan pekerjaan. Rasa takut ini tumbuh dari sebuah paradigma bahwa yang bertanggung jawab menyediakan kerja bagi dirinya adalah orang lain.
Ini yang biasa disebut sebagai mental pegawai. Padahal telah dijelaskan di atas, bahwa seorang manusia yang beradab, luhur dan mulia adalah manusia yang benar-benar meletakkan semua tanggung jawab kehidupannya pada pundaknya sendiri.
Atas dasar itu, ada sebagian orang yang lebih suka memilih untuk tidak bekerja pada orang lain, melainkanMENCIPTAKAN USAHA SENDIRI.
Ada sebuah ungkapan yang menarik dari Amir. MS:"Mencari kerja susah. Menciptakan kerja juga susah. Sama-sama susah. Tapiada bedanya. Menciptakan kerja, jelas lebih mulia, lebih berharga, dan lebih bangga!"
Bekerja pada orang lain bukan hal yang tercela. Namun menjadi "majikan" bagi diri kita sendiri sekaligus bagi orang lain adalah sesuatu yang mulia. Itulah prinsip yang dimiliki oleh mereka yang berjiwa wiraswastawan.
D--WiraswastaWira berarti BERANI, PATRIOTIK.
Swa berarti MANDIRI. Sta berarti BERDIRI. Maka secara sederhana Wiraswasta berarti orang yang berani mendiri untuk berdiri sendiri. Dalam kaitannya dengan pembahasan kita, wiraswasta adalah orang yang berani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bekerja secara mandiri di atas kemampuannya sendiri. Sebenarnya di dalam kerja kita sebagai seorang karyawan terkandung juga nilai-nilai wiraswasta di atas. Jika seorang karyawan bekerja dengan paradigma pengusaha, sehingga dalam setiap langkahnya ia selalu memajukan perusahaan, maka ia pun sebenarnya telah menerapkan jiwa kewiraswastaannya. Namun, dalam pembahasan ini, yang kita maksudkan dengan wiraswasta adalah mereka yang menciptakan kerja bagi dirinya sendiri. Mereka tidak tergantung pada majikan, karena mereka adalah majikan bagi diri mereka sendiri juga bagi orang lain yang bekerja pada mereka. Mereka benar-benar meyakini dan bertanggung jawab atas kerja mereka sendiri. Karena itulah para wiraswasta sebenarnya adalah manusia yang unggul, yang semestinya kita usahakan untuk tumbuh dalam diri kita masing-masing.
Ada sebuah ungkapan dari Amir. M.S. dalam bukunya "Wiraswasta" yang sangat menarik. Beliau menulis demikian: "Bukankah lebih baik tangan yang memberi, daripada tangan yang menerima. Bukankah lebih terhormat tangan yang di atas, daripada tangan yang di bawah. Bukankah lebih mulia menjadi induk semang, daripada menjadi anak semang. Bukanlah lebih baik menjadi kepala kancil, daripada menjadi ekor gajah. Bukankah lebih baik tangan yang dikotori oli, daripada tangan yang bergelimang dosa korupsi dan kolusi."