Andaikan anda adalah seorang manajer keuangan. Suatu hari direktur anda memanggil dan mengatakan bahwa ia, setelah mempertimbangkan berbagai hal, memutuskan menaikkan gaji tambahan tahun ini (di luar kenaikan reguler) untuk seluruh karyawan, tanpa terkecuali, sebesar 15%.
Alasannya, untuk membantu karyawan dalam menghadapi situasi ekonomi yang kurang menguntungkan, selain itu dikarenakan ternyata perusahaan masih bisa mendapatkan kenaikan keuntungan. Semua ini tentu tak terlepas dari jerih payah karyawan. Sang direktur meminta anda untuk melakukan berbagai persiapan dan mengumumkan hal ini satu minggu kemudian. Namun demikian, direktur meminta anda untuk memegang rahasia ini rapat-rapat. Tak boleh bocor sedikit pun, bahkan dengan sesama manajer. Pokoknya, "top secret".
Wow, ini adalah kejutan yang luar biasa menggembirakan. Semua orang pasti akan senang. Anda tentu tak sabar menunggu satu minggu kemudian dan merasakan kegembiraan melanda seluruh karyawan. Tapi, waktu satu minggu terasa lama sekali. Padahal kegembiraan ini amat berat untuk disimpan dalam hati.
Ingin sekali rasanya mengutarakan berita gembira ini, setidaknya pada rekan manajer personalia. Bukankah beliau semestinya patut mengetahui terlebih dahulu. Tetapi, direktur minta anda untuk menjaganya rapat-rapat.
Bagaimana ini?
Pertanyaan #1--Apakah anda merasa bahwa anda termasuk orang yang mampu mengendalikan emosi anda?
Dari contoh di atas, sadarkah kita bahwa memegang sebuah rahasia (berita baik) merupakan ujian bagi kemampuan kita mengendalikan emosi? Seandainya saja si manajer keuangan itu tak mampu menahan perasaan gembiranya, mungkin saja ia akan menceritakan hal tersebut pada koleganya. Meski ia tak lupa membubuhi bahwa "Ini rahasia lho. Jangan dibocorkan ke mana-mana.", tetap saja berita itu tersebar. Kemampuan kita mengendalikan emosi menunjukkan kemampuan kita menjaga sebuah kepercayaan. Lebih lanjut, merupakan cermin kematangan kita dalam bersikap dalam menghadapi setiap keadaan.
Pertanyaan #2--Apakah anda merasa bahwa anda adalah emosi anda?
Emosi atau perasaan datang silih berganti. Bayangkan kita sedang berdiri di sebuah padang pasir yang berangin kencang. Perasaan atau emosi bagaikan butir-butir debu pasir yang melayang-layang bersama angin. Ia meliputi diri kita dengan riuh. Ketika sebuah peristiwa (misal, pertengkaran) terjadi, sebutir debu yang bermuatan emosi amarah melintas dan "tertarik" untuk menempel dalam diri kita. Dengan sigap pikiran meraih dan mengolah debu emosi amarah itu dan mewujudkannya menjadi sebuah ekspresi kemarahan, misal, berteriak, menggebrak, dan lain-lain. Bila kita tak segera mengendalikan (membersihkan) diri dari tempelan debu emosi kemarahan ini, maka kemarahan akan semakin memuncak dan sulit untuk dikendalikan lagi. Sebaliknya, bila
kita mampu sejak dini mawas diri akan adanya debu emosi ini, maka kita dengan lebih mudah mengatasi. Selain debu emosi kemarahan, tentu masih banyak debu emosi lain yang beterbangan di padang pasir perasaan ini, seperti perasaan gembira, senang, sedih, kecewa, takut, cemas, dan lain-lain.
Semuanya beterbangan secara acak, dan menempel pada diri kita akibat daya tarik yang muncul dari suatu peristiwa. Namun, seberapa jauh emosi itu menguasai diri tergantung dari seberapa lemah kita mampu mengendalikan pikiran dan diri kita.
Pertanyaan #3--Apakah anda merasa bahwa anda adalah sosok yang tenang dan senantiasa mengamati berbagai emosi yang datang silih berganti dalam diri anda? Menurut anda, mengapa anda (bagaimana anda) bisa menemukan sosok tenang dalam diri anda?
Permisalan di atas hanya bermaksud menggambarkan bahwa emosi dapat dipandang sebagai sesuatu yang berasal dari luar diri kita. Emosi tidak harus (bahkan memang seharusnya tidak) identik dengan diri kita. Ini cukup bertolak belakang dengan kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari dimana kita biasa menyatakan emosi kita dengan perkataan, "saya sedang marah", "saya sedih", "saya gembira sekali", dan seterusnya. Kita biasa menganggap bahwa perasaan kita adalah diri kita itu sendiri. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah perasaan marah sedang melanda kita, perasaan senang sedang memenuhi diri kita. Sedangkan kita bukanlah "amarah" itu sendiri, kita bukanlah "senang" itu sendiri. Mengidentikkan diri kita dengan emosi sebenarnya menyulitkan kita untuk memahami dan meneguhkan kendali diri.
Menjadi agak sulit bagi kita untuk mengendalikan emosi bila kita tidak berusaha membedakan mana diri kita mana emosi. Namun, dengan membedakannya kita menjadi subyek pelaku yang bisa secara aktif dan sadar menangani obyek emosi yang sedang melanda.
Pertanyaan #4--Menurut anda mengapa anda harus mengendalikan emosi?
Dengan cara apakah anda mengendalikan emosi?
Bila emosi dipandang sebagai sesuatu yang berasal dari luar diri, maka sebenarnya kita tak sepenuhnya berdaya atas datang perginya emosi. Kita pun tak sepenuhnya mampu menahan emosi untuk tetap berada dalam diri semau kita. Mari kita perhatikan, tak mungkin kita merasakan kegembiraan terus-menerus. Tak mungkin pula kita merasakan kesedihan terus-menerus. Pada waktunya perasaan sedih hilang digantikan dengan perasaan lain, begitu pula sebaliknya. Perhatikan, bahwa kita tak kuasa untuk menjaga kegembiraan berada dalam diri setiap saat. Kita pun tak kuasa menolak perasaan sedih singgah dalam jiwa kita. Jadi, mengendalikan emosi pada dasarnya bukan
menolak hadirnya emosi dalam diri, namun menyadari akan hadirnya emosi itu dalam diri. Kemampuan mengendalikan emosi lebih terletak pada kemampuan mengendalikan pikiran kita, karena pikiranlah yang mengidentikkan emosi itu sebagai diri kita. Pikiranlah yang menjadi bahan bakar emosi sehingga membesar dan membakar seluruh diri. Kematangan emosi seseorang sebenarnya hasil dari kematangannya dalam mengendalikan pikirannya sendiri.
Pertanyaan #5--Bila anda bukanlah emosi anda, maka siapakah anda?
Sebuah pertanyaan sederhana yang untuk menjawabnya butuh sebuah penenangan diri yang dalam. Bila kita bukan emosi kita, maka kita sebenarnya merupakan sesosok yang tenang yang dengan cermat mengamati setiap emosi dan perasaan yang hadir dalam pikiran. Kita adalah sesosok yang tenang yang dengan hati-hati mengamati setiap gerak pikiran yang terjadi. Dengan demikian kita adalah sesosok yang tak perlu tergoyahkan oleh rasa takut, atau terbuai oleh kegembiraan, namun menggunakan seluruh karunia emosi itu sebagai sebuah kekuatan untuk membangun hubungan dengan orang-orang dan alam secara harmonis dan keseluruhan.